Kota Tarakan merupakan satu-satunya kota di Provinsi Kalimantan Utara, Indonesia
dan juga merupakan kota terkaya ke-17 di Indonesia.
Kota ini memiliki
luas wilayah 250,80 km² dan sesuai dengan data Badan Kependudukan
Catatan Sipil dan Keluarga Berencana, Kota Tarakan berpenduduk sebanyak
239.787 jiwa. Tarakan atau juga dikenal sebagai Bumi Paguntaka, berada pada sebuah pulau kecil.
Semboyan dari kota Tarakan adalah Tarakan Kota "BAIS" (Bersih, Aman, Indah, Sehat dan Sejahtera).
Tarakan
menurut cerita rakyat berasal dari bahasa tidung “Tarak” (bertemu) dan
“Ngakan” (makan) yang secara harfiah dapat diartikan “Tempat para
nelayan untuk istirahat makan, bertemu serta melakukan barter hasil
tangkapan dengan nelayan lain. Selain itu Tarakan juga merupakan tempat
pertemuan arus muara Sungai Kayan, Sesayap dan Malinau.
Kerajaan Tidung atau dikenal pula dengan nama Kerajaan Tarakan (Kalkan/Kalka) adalah kerajaan yang memerintah Suku Tidung di Kalimantan Utara, yang berkedudukan di Pulau Tarakan dan berakhir di Salimbatu. Sebelumnya terdapat dua kerajaan di kawasan ini, selain Kerajaan Tidung, terdapat pula Kesultanan Bulungan yang berkedudukan di Tanjung Palas. Berdasarkan silsilah (Genealogy) yang ada bahwa dipesisir timur Pulau Tarakan
yaitu di kawasan Dusun Binalatung sudah ada Kerajaan Tidung Kuno (The
Ancient Kingdom of Tidung), kira-kira pada tahun 1076-1156, kemudian
berpindah ke pesisir selatan Pulau Tarakan di kawasan Tanjung Batu pada
tahun 1156-1216, lalu bergeser lagi ke wilayah barat yaitu ke kawasan
Sungai Bidang kira-kira pada tahun 1216-1394, setelah itu berpindah
lagi, yang relatif jauh dari Pulau Tarakan ke daerah Pimping bagian
barat dan kawasan Tanah Kuning, sekitar tahun 1394-1557.
Dari riwayat-riwayat yang terdapat dikalangan suku Tidung tentang kerajaan yang pernah ada dan dapat dikatakan yang paling tua di antara riwayat lainnya yaitu dari Menjelutung di Sungai Sesayap dengan rajanya yang terakhir bernama Benayuk. Berakhirnya zaman Kerajaan Menjelutung
karena ditimpa malapetaka berupa hujan ribut dan angin topan yang
sangat dahsyat sehingga mengakibatkan perkampungan di situ runtuh dan
tenggelam kedalam air (sungai) berikut warganya. Peristiwa tersebut
dikalangan suku Tidung disebut Gasab yang kemudian menimbulkan berbagai mitos tentang Benayuk dari Menjelutung.
Dari beberapa sumber didapatkan riwayat tentang masa pemerintahan
Benayuk yang berlangsung sekitar 35 musim. Perhitungan musim tersebut
adalah berdasarkan hitungan hari bulan (purnama) yang dalam semusim
terdapat 12 purnama. Dari itu maka hitungan musim dapat disamakan lebih
kurang dengan tahun Hijriah. Apabila dirangkaikan dengan riwayat tentang
beberapa tokoh pemimpin (Raja) yang dapat diketahui lama masa
pemerintahan dan keterkaitannya dengan Benayuk, maka diperkirakan
tragedi di Menjelutung tersebut terjadi pada sekitaran awal abad XI.
Kelompok-kelompok Suku Tidung pada zaman Kerajaan Menjelutung belumlah
seperti apa yang terdapat sekarang ini, sebagaimana diketahui bahwa
dikalangan Suku Tidung yang ada di Kalimantan Timur dan Utara sekarang terdapat 4 (empat) kelompok dialek bahasa Tidung, yaitu :
- Dialek bahas Tidung Malinau
- Dialek bahasa Tidung Sembakung.
- Dialek bahas Tidung Sesayap.
- Dialek bahas Tidung Tarakan yang biasa pula disebut Tidung Tengara yang kebanyakan bermukim di daerah air asin.
Dari adanya beberapa dialek Bahasa Tidung
yang merupakan kelompok komunitas berikut lingkungan sosial budayanya
masing-masing, maka tentulah dari kelompok-kelompok dimaksud memiliki
pemimpin masing-masing. Sebagaimana diriwayatkan kemudian bahwa setelah
Kerajaan Benayuk di Menjelutung runtuh maka anak keturunan beserta warga
yang selamat berpindah dan menyebar kemudian membangun pemukiman baru.
Salah seorang dari keturunan Benayuk yang bernama Kayam selaku pemimpin
dari pemukiman di Linuang Kayam (Kampung si Kayam) yang merupakan cikal
bakal dari pemimpin (raja-raja) di Pulau Mandul, Sembakung dan Lumbis.
Sumber: wikipedia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar